Fungsi dan Peran Sistem Subak
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Subak
adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik
sosio-agraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air
irigasi di lahan sawah. Pengertian Subak seperti itu pada dasarnya dinyatakan
dalam peraturan-daerah pemerintah-daerah Provinsi Bali No.02/PD/DPRD/1972. Arif
(1999) memperluas pengertian karakteristik sosio-agraris-religius dalam sistem
irigasi subak, dengan menyatakan lebih tepat subak itu disebut berkarakteristik
sosio-teknis-religius, karena pengertian teknis cakupannya menjadi lebih luas,
termasuk diantaranya teknis pertanian dan teknis irigasi.
Sutawan dkk (1986) melakukan kajian
lebih lanjut tentang gatra religius dalam sistem irigasi subak. Kajian gatra
religius tersebut ditunjukkan dengan adanya satu atau lebih Pura Bedugul (untuk
memuja Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan selaku Dewi Kesuburan), disamping adanya
sanggah pecatu (bangunan suci) yang
ditempatkan sekitar bangunan sadap (in-take)
pada setiap blok/komplek persawahan milik petani anggota subak.
Pusposutardjo (1997) dan Arif (1999)
menyimpulkan bahwa sistem irigasi (termasuk subak) merupakan suatu proses
transformasi sistem kultural masyarakat yang pada dasarnya memiliki tiga
subsistem yakni: Subsistem Budaya, Subsistem Sosial, dan Subsistem Kebendaan.
Subak yang merupakan hukum adat yang
bersifat religius juga memiliki beberapa fungsi dan sistem subak dalam
pengoperasiannya.
1.2.Rumusan Masalah
Dari
latar belakang tersebut, dapat disusun pertanyaan yang akan menjadi fokus
pembahasan dalam paper ini, yaitu untuk mengetahui:
1. Apa
saja fungsi dan peran sistem subak?
1.3.Tujuan
1. Untuk
mengetahui fungsi dan peran sistem subak.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1.Fungsi dan Peran Sistem Subak
1.1.1. Peranan
Subak dalam Pengairan Irigasi
Subak,
merupakan sistem irigasi yang berbasis petani (farmer-based irrigation system)
dan lembaga yang mandiri (self governmet irrigation institution). Keberadaan
subak yang sudah hampir satu millenium sampai sekarang ini mengisyaratkan bahwa
subak memang adalah sebuah lembaga irigasi tardisional yang tangguh dan lestari
(sustainable) walaupun harus diakui bahwa eksistansinya kini mulai terancam.
Ancaman terhadap kelestarian subak adalah bersumber dari adanya
perubahan-perubahan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat Bali yang
mengiringi derasnya arus globalisasi terutama pembangunan pariwisata Bali.
Bebagai upaya perlu dilakukan untuk memperkuat dan melestarikan eksistensi
subak sebagai warisan budaya yang sangat unik dan dikagumi oleh banyak
pemerhati irigasi di mancanegara.Sebab,
jika subak yang dipandang sebagai salah satu pilar penopang kebudayaan
Bali sampai sirna maka dikhawatirkan stabilitas sosial akan terganggu dan
kelestarian kebudayaan Bali bisa terancam.
Meskipun
subak adalah sistemi irigasi yang khas Bali, terutama karena upacara ritual
keagamaan yang senantiasa menyertai setiap aktivitaasnya, namun ia memiliki
nilai-nilai leluhur yang bersifat universal dan sangat relevan dengan konsep
pembangunan berkelanjutan. Nilai-nilai tersebut adalah falsafah Tri Hita
Karana( harmoni antara manusia dengan Sang Pencipta, harmoni antaramanusia
dengan alam, dan harmoni antara manusia dengan manusia) yang
melandasi setiap kegiatan subak. Tri Hita Karana secara implisit
mengandung pesan agar kita mengelola sumberdaya air secara arif untuk menjaga kelestariannya. Oleh karena
itu, subak dapat didefinisikan sebagai lembaga irigasi yang bercorak sosio
religius dan berlandaskan Tri Hita Karana dengan fungsi utamanya adalah
pengelolaa air irigasi untuk memproduksi tanaman pangan khususnya padi dan
palawija Ketiga harmoni tadi
menghasilkan kedisiplinan seluruh anggota Subak di tingkat provinsi dalam
melestarikan sumber daya air di satu daerah aliran sungai.
DAS
dari hulu ke hilir dikelompokkan menjadi:
·
DAS hulu, sebagai zona
tangkapan air, maka hutan-hutan dijaga agar kemampuan menampung air hujan
besar.
·
DAS tengah, sebagai zona
konservasi air dan zona penggunaan air, yang diwujudkan dalam bentuk sistem
usahatani konservasi atau wanatani (agroforestry).
·
DAS hilir, sebagai zona
penggunaan air, di mana sawah irigasi dominan. Subak lokal di DAS hilir
mengurus dan memperhatikan pembagian air irigasi dan pengendalian cara
penggunaan air oleh anggotanya dengan berpedoman kepada awig-awig (peraturan
tertulis dan sanksi atas pelanggaran).
Sistem
Subak adalah contoh yang dalam pengelolaan sumber daya, distribusi, dan
penggunaan air irigasi berwawasan kesejahteraan secara paripurna, yaitu
kesejahteraan masyarakat dalam kawasan DAS. Maka dalam proses pengambilan
keputusan seyogianya mempertimbangkan segi politis, ekonomi, sosial, dan budaya
(religi). Multifungsi ekosistem untuk mencapai pembangunan pertanian yang
berkelanjutan (sustainable agricultural development) telah diimplementasikan
dalam sistem Subak.
Subak
memenuhi kaidah sebagai sistem irigasi sesuai dengan “Standar Perencanaan
Irigasi” karena berdasarkan fakta di lapangan subak dengan jaringan irigasinya
telah memiliki ke-empat fungsi pokok seperti yang disyaratkan yaitu :
1. Bangunan
utama disebut empelan (bendung) atau buka (intake)
2. Saluran
disebut telabah (bila berupa saluran terbuka) atau aungan (bila berupa
saluran tertutup).
3. Hamparan
petak-petak yang merupakan bagian dari subak yang disebut Tempek atau
Munduk dilengkapi pula dengan bangunan dan saluran untuk membagi-bagikan
air ke seluruh areal dengan saluran pembuangan yang disebut Kekalen
4. Sistem
pembuangan kolektif yang disebut pengutangan juga dimilki subak, yang umumnya
berupa saluran alam (pangkung).
Sistem
yg ada pada Subak di Bali, jaringannya hampir sama dengan jaringan teknis
tetapi bangunan dan pengelolaannya berbeda.
1. Bendung pd subak disebut empelan
2. Pemasukan
(intake) = bungas
3. Saluran
primer = telabah gede
4. Bangunan
bagi sekunder = tembuku
5. Saluran
sekunder = Telabah
6. Bangunan
bagi tersier = tembuku pemaron
7. Saluran
tersier = telabah pemaron
8. Bangunan
bagi kuarter = tembuku cerik
9. Saluran
kuarter = telabah cerik
Dengan
demikian kiranya dapat juga disebutkan bahwa sistem irigasi subak pada dasarnya
adalah suatu lembaga adat yang berfungsi untuk mengelola air irigasi untuk
kepentingan kesejahteraan masyarakat (petani). Selanjutnya agama Hindu yang
berkembang pada saat itu di Bali yang memiliki konsep THK, yang dianut oleh
para raja dan masyarakat setempat, dijadikan juga sebagai asas dan diterapkan
pada sistem subak dalam melakukan kegiatannya untuk mengelola air irigasi di
lahan sawah
Perkembangan/perubahan
yang tampak terjadi pada sistem irigasi subak disebutkan oleh Pusposutardjo
(1996) sebagai suatu proses transformasi sistem irigasi dengan lingkungannya.
Kemudian dalam perannya sebagai pengelola pertanian beririgasi, maka seperti
yang dikemukakan Pusposutardjo (1997), ternyata komponen manusia dalam sistem
subak sangat dominan dalam sistem pengelolaan irigasi, yakni dalam aktifitasnya
untuk mengendalikan pasokan air yang dinamis pada sistem pertanian tersebut.
Adapun
hal yang penting dan mendasar dalam kajian ini adalah berkait dengan peranan
subak sebagai institusi adat pendayaguna air, yang diharapkan mampu memecahkan
masalah yang muncul secara integratif melalui pendekatan sosio kultural di
tengah-tengah arus perkembangan teknologi dan perubahan sikap hidup manusia.
Bila
hal tersebut dapat dilaksanakan secara optimal, maka manfaat yang kiranya dapat
dipetik adalah :
1. Untuk
ilmu pengetahuan akan memperkaya bidang ilmu irigasi, khususnya dalam manajemen
irigasi (irrigation management) melalui hampiran sosio-teknis dengan kasus subak
di Bali yang berlandaskan THK, yang terbukti telah mampu mengembangkan suatu
manajemen pengelolaan sumberdaya air (khususnya irigasi), berdasarkan pada
aturan-aturan tertulisdan norma-norma religius/agama, sehingga dapat
memanfaatkan air (irigasi) untuk kehidupan manusia secara berkelanjutan.
Disamping itu, bermanfaat pula untuk membuktikan kebenaran bahwa sistem irigasi
subak adalah bersifat sosio-teknis, dalam batas-batas tertentu memiliki peluang
untuk ditransformasi ke wilayah lain. Ini berarti akan sekaligus pula
mempercepat proses pembangunan irigasi yang bercirikan THK.
2. Untuk
pembangunan bangsa dan negara, diharapkan hasil kajian ini dapat bermanfaat
bagi pelaksanaan pengelolaan dan pelestarian sumberdaya air di Bali, dan
kawasan lain yang serupa, yang dinilai sudah mengalami krisis air.
3. Memecahkan
permaslahan yakni berupa konflik penggunaan air yang bersifat multi guna,
dengan mengembangkan konsep harmoni dan kebersamaan sesuai dengan hakekat THK
yang melandasi sistem subak.
1.1.2. Peranan Subak dalam
Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Di
masyarakat ada dua aliran tentang pengelolaan sumber daya alam, termasuk sumber
daya air:
1. Aliran
ekosentrik, yaitu yang lebih bertitikberat pada kelestarian sumberdaya alam,
tanpa peduli kepada kebutuhan hidup manusia.
2. Aliran
antroposentrik, yaitu yang lebih bertitikberat pada kebutuhan hidup manusia,
yang kalau tidak diatur dapat menjurus ke perusakan sumber daya alam.
Alih
fungsi lahan pertanian untuk tujuan non-pertanian merupakan proses yang tidak terhindarkan.
Hal ini disebabkan karena adanya ledakan jumlah penduduk yang menunutut pertambahan
pemukiman , transportasi, pembangunan industri dan berbagai prasarana fisik
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia modern yang semuanya itu niscaya
membutuhkan tanah. Misalnya di Jawa dan Bali, selama periode 1981- 1986 luas
lahan sawah yang telah beralih fungsi mencapai 224.184 ha dengan rata-rata
37.364 ha / tahun. Dari sawah seluas 224.184 ha itu 55,77% masih dipergunakan
sebagai lahan pertanian sedangkan sisanya sebanyak 44,23 % dialih -fungsikan ke
non-pertanian (Nasoetion dan Winoto, 1996 ).
Hasil
penelitian JICA seperti dikutip oleh Kurnia, dkk (1996) menunjukkan bahwa mulai
tahun 1991 sampai tahun 2020 diperkirakan konversi lahan beririgasi di seluruh
Indonesia akan mencapai 807.500 ha ( untuk Jawa sekitar 680.000 ha; Bali 30.000
ha; Sumatera 62.500 ha dan Sulawesi 35.000ha ). Khusus untuk Bali, dalam
beberapa tahun belakangan ini areal persawahan yang telah beralih fungsi
diperkirakan mencapai 1.000 ha per tahun. Penciutan lahan sawah ini sungguh
pesat, lebih-lebih di sekitar kota karena dipicu oleh harga tanah yang meroket,
sehingga pemilik sawah tergoda untuk menjual sawahnya.
Sampai
tahun 1999 pencetakan sawah baru dan alih fungsi lahan berjalan bersamaan.
Secara agregat pencetakan sawah baru justru menambah luas lahan sawah sekitar
1,6 juta ha (Tabel 1). Lahan sawah bukaan baru belum dimanfaatkan, karena tanah
bereaksi masam dan kurang subur, lokasi terpencil (penduduk jarang) atau
konstruksi bangunan irigasi tidak tepat. Tampaknya aliran antroposentrik yang
merasuk ke pelaku pembangunan secara individual atau korporasi telah
menghasilkan pembangunan sistem irigasi yang sia-sia.
Pada
era otonomi daerah, alih fungsi lahan lebih berorientasi ke peningkatan
pendapatan asli daerah yang berakibat terhadap bukan hanya berkurangnya luas
lahan produktif, tetapi juga kerusakan DAS hulu dan tengah yang berarti menyia-nyiakan
dana yang telah diinvestasikan untuk membangun jaringan irigasi.
Alih
fungsi lahan sawah beririgasi ke non-pertanian merupakan proses yang bersifat irreversible
atau tidak dapat balik.Alih fungsi lahan cenderung diiringi dengan
perubahan-perubahan orientasi ekonomi,sosial,budaya ,dan politik masyarakat
yang umumnya juga bersifat irreversible (Nasoetion dan Winoto. 1996). Khusus
untuk kasus di Bali, jika penyusutan areal sawah beririgasi terus berlanjut,
dikhawatirkan organisasi subak yang merupakan warisan leluhur dan sudah
terkenal sampai ke manca negara akan terancam punah. Kalau subak hilang, apakah
kebudayaan Bali tidak akan mengalami degradasi karena diyakini bahwa subak
bersama lembaga tradisional lainnya seperti banjar dan desa adat merupakan
tulang punggung kebudayaan Bali. Selain dari pada itu yang tidak kalah
memprihatinkannya adalah jika sawah beririgasi sudah tidak ada lagi maka lenyap
pula fungsi sawah sebagai pengendali banjir dan pelestarian lingkungan ( flood
control and environment preservation). Sistem Subak dapat hilang dan hanya
menjadi bagian indah dari sejarah, kalau orientasi pembangunan pemerintah
daerah lebih tercurah ke pembangunan pariwisata (Pitana 2003; Arwata 2003).
Dalam
kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya air, apabila alih fungsi sawah terjadi
di bagian hulu atau tengah dari sistem irigasi, maka pemilik sawah di bagian
hilir akan terkena dampaknya yakni berupa pengurangan air secara langsung
karena dimanfaatkan untuk kepentingan lain atau bisa sama sekali tidak lagi
memperoleh air jika alih fungsi tersebut sampai merusak saluran dan bangunan
irigasi yang ada (Kurnia, dkk. 1996). Guna menghindari berbagai kerugian dan
dampak negatif dari alih fungsi lahan maka daerah-daerah yang telah memiliki
Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) perlu memberlakukan RUTR itu secara ketat dan
konsisten. Bagi daerah-daerah yang belum memilikinya, agar menyusun RUTR dengan
memasukkan potensi dan kebutuhan air pada wilayah yang bersangkutan.
Selanjutnya RUTR yang telah disepakati agar disosialisasikan kepada masyarakat
dan para perancang dan pelaku program pembangunan. Upaya-upaya lain yang perlu
dilakukan dalam rangka pengendalian alih fungsi lahan selain penyusunan dan
pemberlakuan RUTR secara tegas adalah:
(1)
Penetapan mekanisme ganti rugi aset negara dan masyarakat yang terkena alih
fungsi
Misalnya
fasilitas irigasi yang tidak dapat berfungsi lagi; dan ganti rugi bagi
petani karena air irgasinya terputus.
(2)
Berbagai peraturan dan perundangan yang telah dibuat oleh pemerintah dalam
upaya pengendalian alih fungsi lahan agar benar-benar ditegakkan secara
konsekuen dengan sanksi yang tegas tanpa pandang bulu terhadap siapa saja yang
melanggar.
(3)
Jika diizinkan akan ada alih fungsi maka organisasi P3A beserta PU Pengairan
perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan guna menghindari timbulnya konflik
di belakang hari.
Ke
depan, pengelolaan sumber daya, distribusi, dan penggunaan air irigasi supaya
menerapkan pendekatan yang berimbang, yaitu memperhatikan keseimbangan yang
harmonis antara aliran ekosentrik dan aliran antroposentrik, disebut pendekatan
eko-antroposentrik.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kesimpulan
dari tulisan ini bahwa subak sebagai sistem irigasi air dan pengendalian alih
fungsi lahan memiliki kearifan lokal dan teknologi yang universal yaitu :
1. Mengaembangkan
konsep bahwa air adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga air harus
dijaga dengan sebaiknya,agar lestari.
2. Mengembangkan
konsep adil dan proporsional dalam pembagian air irigasi, serta dalam pembagian
manfaat dan biaya.
3. Mengembangkan
konsep pengaturan secara jelas dan rinci dalam pelaksanaan kegiatan subak, yang
dituangkan dalam bentuk awig-awig (aturan tertulis), dan aturan tidak tertulis
lainnya sesuai dengan kesepakatan bersama. Awig-awig umumnya ditulis
berdasarkan konsep Parhayangan.
4. Bangunan
bagi dibuat dengan bahan lokal yang mudah didapat dari lingkungan sekitarnya
menganut sistem one inlet and oulet pada setiap blok/komplek pemikiran sawah
petani, sehingga setiap petani dapat mengembangkan sistem diversikasi
pertanaman untuk peningkatan kesejatehteraannya. Sistem ini juga dapat
mengembangkan kebijakan saling pinjam air irigasi antar petani, sehingga dapat
mencegah pencurian air dan konflik.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Moertopo,1978, Strategi Pembangunan Indonesia, CSIS, Jakarta. .
Atmojo,
S.K. 1986. Some Shorts Notes on Agricultural Data from Ancient Balinese Insciption,
in S. Kartodirjo (ed.) Papers of the Fourth Indonesian – Dutch History
Conference. Yogyakarta 24 – 29 July 1983, vol.1. Agrarian History, pp.41-2.
Yogyakarta. Gajah Mada University.
BPS
Propinsi Bali. 2008. Sekilas Bali 2008
Budiasa,
I Wayan. 2005. Subak dan Keberlanjutan Sistem Pertanian Beririgasi di Bali.
Dalam Pitana, I Gde dan Gede Setiawan AP (Eds). Revitalisasi Subak dalam
Memasuki Era Globalisasi. Yogyakarta: Andi Offset.
Widyaiswara.
2011 Subak Model Kearifan Lokal BALI yang Terkikis Kementrian Pertanian dan
Badan Penyuluhan Pengembangan Pertanian. BBPP Ketindan Malang
(http://bbppketindan.info/index.php?option=com_content&view=article&id=96:subak-model-kearifan-lokal-bali-yang-terkikis&catid=9:artikel-pertanian&Itemid=28diambil
pada 26 Mei 2014)
http://balisustain.blogspot.com/2010/08/peran-ganda-subak-dalam-mewujudkan.html
http://balisustain.blogspot.com/2010/08/kajian-tata-ruang-dan-pengelolaan.html
http://blog.baliwww.com/arts-culture/467
http://id.wikipedia.org/wiki/Subak_%28irigasi%29
Comments
Post a Comment